Ganjar Pranowo Sebut BUMN Tak Boleh Punya Cucu dan Cicit
KORPORAT.COM, Jakarta - Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo menyinggung keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut Ganjar, esensi kehadiran BUMN adalah menjadi perintis sektor ekonomi tertentu di saat kalangan privat belum mampu untuk menggarap.
Menurut dia, peran entitas negara bisa diartikan sebagai pionir yang pada akhirnya melepas sektor itu jika sudah berkembang. Artinya,
“Jadi harusnya (kalau sudah berkembang) ini dilepas karena sebenarnya negara (melalui BUMN) tidak mencari uang. Jadi bermakna sebagai fasilitator,” ujarnya saat berbicara di forum diskusi Kadin Indonesia, Kamis (11/1/2024).
Ganjar menjelaskan, tugas pemerintah adalah me-manage dan menstimulasi usaha produktif untuk menjadi tumbuh dan berkembang.
“Kamu (BUMN) boleh punya anak usaha, tapi tidak boleh punya cucu dan cicit perusahaan,” katanya.
Kata Kemenkeu soal Pembubaran 7 BUMN: Bisnisnya Sudah SunsetGanjar menambahkan, keberadaan entitas cucu-cicit BUMN akan membuka peluang terjadinya monopoli oleh korporasi negara. Sehingga, fokus utama pendirian perusahaan pemerintah sudah tidak sesuai dengan tujuan awal.
“Akhirnya swasta tidak punya peran. Maka untuk menjalankan bisnis diperlukan rasa kemanusiaan. Mungkin kalau swasta ini sudah muncul, BUMN ini sudah tidak diperlukan lagi,” kata dia menegaskan.
7 BUMN 'Disuntik Mati', 15 Lainnya Masih MenantiAdapun, pernyataan Ganjar ini menanggapi pertanyaan dari Wakil Ketua Umum Kadin, Juan Permata Adoe soal upaya mensinergikan BUMN dengan swasta. Dia pun membagikan data soal UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli yang kemudian dikomparasikan dengan UU Nomor 19 Tahun 2023 Tentang BUMN.
Kadin Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), menyebut kontribusi BUMN terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami kenaikan dalam lima tahun belakangan ini.
Tercatat, pada 2018 kontribusi BUMN adalah sebesar Rp2.188,3 triliun atau setara 5% PDB. Angka ini melonjak jadi Rp2.552,1 triliun atau 5,3% PDB di 2022.
Komentar (0)
Login to comment on this news