Alasan Kemenkeu Ngotot soal Tarif Pajak Diskotek Cs
KORPORAT.COM, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan bahwa instrumen fiskal tidak melulu soal upaya menghimpun pendapatan negara. Namun juga sebagai alat yang digunakan pemerintah untuk mengontrol peredaran barang dan jasa.
Pernyataan Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana itu mengacu pada kegaduhan tarif pajak 40%-75% jenis hiburan tertentu, seperti bar, kelab malam, diskotek, karaoke, mandi uap/spa. Lidya mengatakan hal tersebut merupakan bagian dari fungsi regulatori yang kemudian dioptimalkan untuk tujuan pengendalian.
“Ini merupakan jasa hiburan tertentu, maka dikenakan tarif tertentu juga. Kenapa? Karena dikonsumsi sebagian masyarakat di kalangan tertentu,” ujarnya saat berdialog dengan Menteri Pariwisata dan pelaku usaha hiburan, Senin (22/1/2024).
Wajah Kusut Inul dan Pengusaha Hiburan Usai Bertemu Menko AirlanggaLydia menjelaskan, kelompok jasa yang disebutkan itu dikenakan tarif 40% hingga 75%. Sementara kategori hiburan lain diputuskan penurunan tarif dari maksimal 35% menjadi paling banyak 10%.
“Kami menyamakan tarifnya (selain hiburan tertentu) menjadi 10% adalah untuk menyesuaikan dengan pajak konsumsi lainnya. Jadi tidak tepat jika disebut aturan ini tidak pro kepada pariwisata,” kata dia.
Usaha Tambah Sepi, Pengusaha Hiburan Pilih Judicial Review Tarif PajakSebagai informasi, tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) merupakan amanat UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) yang disahkan 2022 yang lalu. Tarif PBJT ini sekaligus menggantikan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
“Perlu diketahui juga dalam undang-undang yang baru (HKPD), menyebut bahwa yang terkait dengan promosi budaya serta layanan masyarakat/sosial, itu tidak boleh dipungut bayaran. Kalau tidak boleh dipungut bayaran berarti tidak boleh juga dipungut pajak,” tutur Lydia.
Komentar (0)
Login to comment on this news