Makin Populis Kebijakan Pemerintah, Makin Besar Beban yang Ditanggung APBN

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menjadi UU APBN 2025 di Jakarta, Kamis (19/9/2024). (Dokumen Kemenkeu)
Place your ads here

KORPORAT.COM, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto bakal menjalankan masa jabatannya dengan menggagas sejumlah program populis. Program ini meliputi makanan bergizi gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, renovasi sekolah, dan penciptaan lumbung pangan nasional.

Tentu program yang digagas Prabowo ini memerlukan anggaran yang besar di tengah situasi ekonomi yang tengah melambat. Alhasil, dalam 50 hari lebih masa kepemimpinan Prabowo, postur APBN mulai terbebani dengan makin melebarnya angka defisit.

Seperti penuturan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita edisi Desember 2024, Rabu (11/11/2024). Hingga November ini, angka defisit tercatat mencapai Rp401,8 triliun atau 1,81% dari PDB.

Kondisi itu tertekan belanja yang cukup besar, sementara saat ini pendapatan negara baru akan mulai pulih kembali. Rinciannya, belanja negara mencapai Rp2.894,5 triliun, sementara pendapatan negara baru mencapai Rp2.492,7 triliun.

Defisit Tembus Rp401,8 Triliun, APBN Makin Tekor Jelang Akhir Tahun

Dengan kondisi itu, kebijakan “populis” Prabowo dikhawatirkan bakal memperburuk rapor APBN di tahun mendatang.

Namun, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto meyakini, dampak kebijakan populis Prabowo terhadap APBN masih berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

"Secara konsep, kebijakan ini memang populis, tetapi beban APBN-nya masih dalam batas yang direncanakan. Rencana defisit anggaran pada 2025 diperkirakan sekitar 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang masih di bawah batas 3% yang ditetapkan oleh undang-undang," kata Eko kepada Korporat.com, Rabu (11/11/2024).

Namun, ia juga mengingatkan bahwa meski defisit anggaran dapat meningkat, kenaikan tersebut harus tetap berada dalam batas yang wajar.

"Dugaan saya defisit akan tetap berada pada kisaran 2,5%, karena jika lebih dari itu, pasti akan mendapat perhatian dari parlemen," kata dia menambahkan.

APBN 2025 Ekspansif, Pertumbuhan Ekonomi Ditarget Naik 5,5 Persen

Pengelolaan defisit yang hati-hati dinilai sebagai kunci dalam menjaga keseimbangan fiskal, dan menjaga disiplin anggaran agar tidak melampaui batas yang diatur oleh undang-undang.

Perlu diketahui dalam 10 tahun terakhir Pemerintah konsisten menjaga kesehatan APBN dengan menjaga angka defisit tetap di bawah 3%. Namun angkanya sempat melonjak saat dunia dilanda pandemi Covid-19 pada 2020.

Saat itu, nilai defisit APBN tembus Rp956,3 triliun atau 6,09% dari PDB. Namun kondisi itu mulai membaik sejak 2022 hingga tahun ini, yakni berada di bawah 3%.

APBN sejatinya memang sudah dirancang untuk defisit. Namun permasalahannya, seberapa besar defisit itu bisa ditanggung pemerintah.

Kondisi itu bisa kita lihat dari tren pendapatan dan belanja negara dalam beberapa tahun ke belakang. Dari data APBN Kita yang dirilis Kementerian Keuangan, pendapatan negara selalu lebih rendah dari belanja negara.

Hal itu pula yang menjadi penyebab defisit APBN. Meski begitu, dalam APBN 2025, untuk pertama kalinya pendapatan negara dirancang bisa menembus angka Rp3.000 triliun.

Eko pun menambahkan, kebijakan populis ini dapat berpotensi meningkatkan utang negara, karena untuk mendanai kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah mungkin perlu meningkatkan pinjaman.

"Utang negara bisa meningkat, dan defisit juga akan lebih tinggi, tetapi selama defisit tetap di bawah 3% dari PDB, itu masih diperbolehkan oleh undang-undang," tutur Eko

Meski demikian, ia menekankan pentingnya efisiensi dalam pengeluaran negara, dengan mengurangi anggaran yang tidak langsung mendukung produktivitas ekonomi, seperti perjalanan dinas atau belanja non-produktif lainnya.

Pembiayaan Utang APBN dari SBN Bertambah Rp8,05 Triliun

Penting juga untuk mengoptimalkan sumber pendapatan negara. Eko berpendapat, bahwa untuk mendukung kebijakan populis, pemerintah perlu fokus pada pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu.

"Jika ekonomi tumbuh, usaha akan menghasilkan keuntungan, dan otomatis pendapatan pajak akan meningkat," ujarnya.

Salah satu langkah yang perlu diperhatikan adalah meningkatkan pajak bagi orang kaya dan sektor-sektor tertentu yang selama ini menikmati insentif pajak, seperti deposito atau surat berharga negara (SBN).

Ia juga menyarankan agar sektor ekstraktif seperti pertambangan dan minyak dapat dikenakan pajak yang lebih tinggi, agar lebih adil dan seimbang.

Bagikan:

Data

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//